Mereka duduk di pojok kantin atas, di antara hiruk pikuk tawa teman-teman yang tak tau bahwa dua hati di sana sedang bernegosiasi dengan takdir.
Ia Muslim, ia Katolik. Dua nama Tuhan yang berbeda, diantara tasbih dan rosario, tapi doa mereka kerap bertemu di langit yang sama, saat mata saling menatap lebih lama dari seharusnya.
Mereka mencintai dengan cara paling sunyi: menyembunyikan harapan di balik senyum, menukar kata “nanti” dengan “mungkin”, seolah waktu bisa diajak berkompromi. Di setiap percakapan tentang masa depan, ada jeda panjang yang hanya bisa diisi dengan tatapan mata, sebab kata-kata yang terucap akan terlalu berisiko untuk mengaku bahwa mereka tak punya ruang di dunia yang disusun oleh pasal dan tafsir.
Dunia mereka kecil, tapi tekanan dari luar begitu besar. Di kitab hukum, cinta mereka tidak diakui. Di mimbar ibadah, kasih mereka dianggap keliru. Namun di dada mereka, sesuatu terus berdenyut, bukan sekedar rasa, melainkan keyakinan bahwa cinta seharusnya lebih luas dari nama yang mengawali doa.
Cinta lintas iman bukan kisah baru di negeri ini. Ia tumbuh di antara ruang-ruang kampus, di pertemuan organisasi, di kelas diskusi, di balik layar gawai. Generasi muda hari ini tumbuh dalam dunia yang cair, tempat perbedaan bukan ancaman, melainkan bagian dari keseharian.
Namun sistem yang menaungi mereka tidak sefleksibel itu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih menjadi pagar hukum yang tegas: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Kalimat itu sederhana, tapi telah memisahkan banyak hati yang tak pernah bersalah.
Menurut data Komnas HAM (2023), permohonan pernikahan beda agama masih menjadi salah satu perkara yang kerap berujung penolakan di pengadilan. Sebagian pasangan memilih menikah di luar negeri agar diakui negara; sebagian lainnya menyerah di tengah jalan, meninggalkan cinta yang tak mampu dilindungi hukum.
Dalam survei Setara Institute (2022), 78% anak muda Indonesia menyatakan terbuka terhadap pertemanan lintas agama, tetapi hanya 32% yang menganggap pernikahan lintas iman sebagai hal yang bisa diterima. Artinya, ada bentang panjang antara toleransi sosial dan legitimasi moral. Anak muda boleh saling mengenal, bahkan mencintai, tapi tidak sampai menikah, seolah batas cinta ditentukan oleh izin institusi.
Maka lahirlah generasi yang belajar mencintai di bawah bayang-bayang regulasi. Mereka tak menolak iman, tapi mempertanyakan mengapa iman dan negara bersekongkol menentukan kepada siapa hati boleh berpulang.
Di kota-kota besar, cinta lintas agama bukan lagi desas-desus; ia hadir di kafe, di kampus, di layar ponsel, dan di antara detak jantung dua manusia yang kebetulan berbeda jalan menuju Tuhan. Namun di balik senyum itu, tersimpan sunyi: cinta yang tidak bisa ditegakkan secara sah oleh negara.
Fenomena ini bukan sekedar soal “pacaran beda agama”. Ia adalah simbol benturan antara rasionalitas modern dan warisan struktur sosial-religius. Menurut Berger dan Luckmann (1966), realitas sosial adalah hasil konstruksi bersama dan dalam konteks Indonesia, “pernikahan sah” dikonstruksi oleh hukum yang berpihak pada tafsir keagamaan mayoritas. Artinya, cinta yang tak sejalan dengan doktrin agama akan kehilangan ruang untuk diakui.
Bagi sosiolog Anthony Giddens (1992), modernitas melahirkan “pure relationship” — hubungan yang berdiri atas dasar pilihan dan refleksi diri, bukan sekedar kewajiban sosial. Tapi di Indonesia, cinta masih berada di bawah bayang-bayang norma kolektif yang menuntut keseragaman. Maka jadilah paradoks: generasi muda tumbuh dalam nilai kebebasan, tapi hidup dalam sistem yang belum sepenuhnya memberi ruang bagi otonomi personal.
Akibatnya, banyak pasangan lintas iman memilih diam di persimpangan: menunda, berpura-pura, atau mencari jalan di luar sistem: menikah di luar negeri, atau sekedar menggantungkan cinta tanpa kepastian. Di sinilah muncul kegelisahan eksistensial: apakah cinta yang tulus masih harus tunduk pada administrasi keyakinan?
Negara, dalam wujudnya yang rasional dan berdaulat, kerap lupa bahwa di balik setiap regulasi, ada denyut manusia.
Dalam konteks pernikahan beda agama, Indonesia memilih jalan konservatif: menundukkan cinta pada tafsir keagamaan, bukan sebaliknya. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Maka cinta menjadi legal hanya jika Tuhan atau lebih tepatnya, tafsir lembaga keagamaan mengizinkannya.
Namun dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, situasi ini problematik. Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) menegaskan hak setiap individu untuk menikah tanpa pembatasan agama. Begitu pula Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 12 Tahun 2005. Maka, secara normatif, hak untuk mencintai dan menikah lintas agama adalah bagian dari kebebasan pribadi, sesuatu yang semestinya dilindungi, bukan diatur dengan pagar dogma.
Tapi realitas Indonesia hidup di antara dua kutub:
satu kaki berpijak di ranah transendensi, di mana cinta tunduk pada Tuhan;
kaki lainnya berdiri di atas rasionalitas negara hukum, di mana cinta tunduk pada regulasi.
Di tengah-tengahnya, manusia menjadi medan tarik-menarik antara iman dan kebebasan.
Mungkin di sini letak tragedi sekaligus keindahan cinta di negeri ini: ia suci, tapi tak selalu sah.
Ia nyata, tapi sering tak diakui.
Ia merdeka di hati, tapi terbelenggu di dokumen negara.
Pada akhirnya, cinta lintas agama di Indonesia hidup seperti bayangan yang selalu mengikuti tapi tak pernah boleh berdiri di bawah cahaya.
Ia adalah paradoks manusia modern yang lahir di tanah religius yang mencintai dengan nurani, tapi dipagari oleh norma.
Kita sering lupa bahwa cinta, dalam bentuk paling jujurnya, adalah iman juga: ia percaya, meski tak pasti; ia setia, meski tak dijamin hukum.
Namun selama negara terus menafsirkan cinta lewat jalur administrasi keagamaan, kebebasan untuk mencintai akan tetap jadi kemewahan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berani menantang batas.
Mungkin kelak, ketika keberagaman tidak lagi dipandang sebagai ancaman, negara akan belajar bahwa keimanan seseorang tidak meniadakan kemanusiaannya. Dan bahwa cinta yang berbeda keyakinan tidak selalu bentuk pengingkaran, melainkan kadang justru jalan menuju pengertian yang lebih dalam tentang Tuhan dan sesama manusia.
Sebab pada akhirnya, setiap cinta yang lahir dari kejujuran, entah diizinkan atau tidak — tetap akan mencari tempatnya untuk pulang.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), 1948.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966; diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Berger, Peter L., & Luckmann, Thomas. (1966). The Social Construction of Reality. Penguin Books.
Giddens, Anthony. (1992). The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies. Stanford University Press.
Hidayat, Komaruddin. (2015). Agama dan Cinta: Tafsir Religius atas Relasi Manusia. Paramadina.
Suseno, Franz Magnis. (2010). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia.
0 Komentar