Sangkara Hanya Bagian, FISIP Adalah Kebanggaan!

Apa yang pertama kali terlintas ketika menyebut nama FISIP?

Apakah sekedar fakultas dengan empat jurusan? Apakah sekedar gedung jingga yang kita lewati tiap hari? Atau hanya logo di baju pdh yang sama-sama kita kenakan?

Jika jawabannya hanya itu, maka kita sedang mereduksi makna sebuah nama yang jauh lebih besar. Karena FISIP bukan hanya ruang belajar, ia adalah rumah yang membentuk pejuang, melahirkan pemikir, dan mengikat kita dalam satu warna yang sama.

Nama ini berdiri lebih dulu dari semua ormawa, himpunan, UKM, atau komunitas manapun. Nama ini telah hidup sebelum kita ada, dan akan tetap ada meski kita semua telah pergi. Itulah mengapa FISIP bukan sekedar identitas administratif, melainkan roh yang menyatukan kita di atas segala perbedaan.

Fakultas ini berdiri pada Maret 1976, bersamaan dengan lahirnya Universitas Sebelas Maret. Saat itu, namanya masih Fakultas Sosial Politik, dengan dua jurusan awal: Administrasi Negara dan Publisistik. Tahun 1982, nama itu berubah menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan jurusan Publisistik berkembang menjadi Ilmu Komunikasi. Pada 1986, lahir Sosiologi. Disusul Hubungan Internasional pada 2013, dan akhirnya fakultas ini mengubah lagi namanya menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, yang menandai semakin luasnya cakupan keilmuan FISIP dalam menjawab tantangan zaman.

Kini, FISIP menaungi empat program studi: Ilmu Administrasi Negara, Ilmu Komunikasi, Sosiologi, dan Hubungan Internasional, dengan empat himpunan mahasiswa: KMAP, Himakom, Himasos, dan Himaters. Dari dua jurusan menjadi empat prodi, dari lingkup lokal menuju isu global, perjalanan ini adalah bukti bahwa FISIP bukan sekedar fakultas, melainkan rumah pejuang dan pemikir yang terus tumbuh bersama zaman.

Pada akhirnya, FISIP bukan hanya kumpulan program studi. Ia adalah payung besar yang menaungi beragam warna, identitas, dan cerita. Sejak awal, FISIP menanamkan prinsip bahwa keberagaman bukan untuk memecah, melainkan untuk memperkaya. Sebelum kita menjadi bagian dari himpunan atau komunitas apapun, kita terlebih dulu adalah mahasiswa FISIP UNS. Itulah identitas yang lebih besar dari semuanya.

Sangkara dalam Bayang FISIP

Di tengah perjalanan panjang itu, Sangkara hanyalah sebutir pasir kecil di pantai luas. Ia bukan fakultas, bukan prodi, bukan lembaga resmi. Sangkara hanyalah komunitas, lahir dari tribun, dari semangat mendukung, dari bara kecil yang dijaga agar tidak padam.

Sangkara tidak bisa, dan tidak boleh, lebih besar dari FISIP. Karena FISIP adalah alas yang membuat Sangkara mungkin ada, payung yang menaunginya, dan rumah tempat Sangkara pulang. Semua energi yang lahir dari tribun hanyalah jalan kecil untuk tujuan yang lebih besar: menjaga marwah FISIP sebagai rumah yang hidup dan bermakna.

Namun dari kerendahan itulah Sangkara belajar bahwa apa yang dilakukan, sekecil apapun, ia tidak pernah berdiri sendiri, dan juga menjawab pertanyaan mengapa setiap chant, setiap bendera, setiap tulisan, nihil menyebut nama Sangkara, karena itu hanyalah persembahan kecil bagi nama yang lebih besar, FISIP UNS.

Identitas Bersama Menjadi Pengingat

Sejarah FISIP mencatat keberanian membangun dari awal, dengan segala keterbatasan, hingga tumbuh menjadi fakultas dengan empat prodi yang sejajar. Namun, di balik itu, kita juga harus jujur bahwa kebersamaan kerap memudar. Himpunan sibuk dengan urusannya sendiri, prodi berjalan masing-masing, komunitas terjebak dalam egonya. Padahal, di atas semua itu, kita berbagi satu atap jingga yang sama.

PKKMB kemarin menjadi pengingat yang terang. Mahasiswa baru berdiri bersama, berseragam sama, bernyanyi dengan suara yang sama. Dari situ kita sadar, betapapun beragam identitas yang kelak mereka pilih, semua tetap berawal dari rumah yang sama: rumah jingga bernama FISIP.

Itulah keistimewaan nama ini. Ketika nama lain bisa memecah, nama FISIP justru menyatukan. Ketika ego berbenturan, nama FISIP mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kepentingan pribadi. Dan ketika suara-suara berbeda terdengar, nama FISIP membuat kita paham bahwa keragaman itu justru kekuatan kita.

Solidaritas bukan sekedar jargon di mimbar, melainkan keberanian untuk meletakkan ego, mengulurkan tangan, dan mengakui bahwa kita lebih kuat bersama. FISIP tidak pernah kekurangan pemikir dan pejuang, yang kadang hilang hanyalah keberanian untuk saling merangkul.

“Pada akhirnya, kita boleh berbeda jurusan, himpunan, komunitas, bahkan jalan perjuangan. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa diingkari, kita semua pulang ke rumah yang sama, rumah bernama FISIP UNS.”

Rumah ini adalah tempat para pejuang menyalakan keberanian, tempat para pemikir mengasah gagasan, dan tempat kita belajar bahwa perubahan selalu dimulai dari keberanian untuk bersatu. Mari kita rawat rumah ini dengan cinta yang sama, mari kita buktikan bahwa dari rumah jingga inilah akan lahir pejuang dan pemikir yang mampu mengguncang dunia.

Jingga Membara, FISIP UNS Membumi Mengudara!


Posting Komentar

0 Komentar