Siapa Kami?

 Asal-Usul dan Sejarah


Sangkara tidak lahir dari ruang yang tenang. Ia lahir dari keresahan, dari tribun yang sunyi, dari fakultas yang pernah kehilangan gaung kebanggaannya. Medio akhir 2016, sekelompok mahasiswa FISIP merajut bara pertama itu dan menamai dirinya FISIPISME. Tidak ada seremoni besar, tidak ada gong peresmian, hanya sebuah unggahan sederhana di Instagram pada 30 Oktober 2016, yang kelak dikenang sebagai hari lahirnya. Dari unggahan itu, suara baru mulai menggeliat, suara yang ingin berkata bahwa FISIP juga ada di tribun.

Awalnya sederhana hanya semangat mendukung FISIP di ajang olahraga UNS, OSM. Namun di balik sorak dan nyanyian, ada keresahan yang lebih dalam, mengapa FISIP belum punya identitas tribun yang solid? Mengapa fakultas pemikir dan pejuang ini belum menemukan bentuk suara kolektifnya di gelanggang? Dari keresahan itulah FISIPISME berdiri, mencoba mengisi ruang kosong yang selama ini terabaikan.

Lalu datang pandemi. Arena sepi, tribun kosong, dan FISIPISME perlahan terdiam. Api yang dulu menyala, redup oleh jarak dan waktu. Solidaritas memudar, kebanggaan terasa jauh. Seperti bara yang terpendam, seolah menunggu mati.

Tetapi api punya sifatnya sendiri, ia selalu mencari cara untuk kembali menyala. Pada 15 Juli 2024, bara itu bangkit lagi, kali ini dengan wajah baru. Dari FISIPISME, lahirlah Sangkara FISIP UNS 1976. Nama yang dipilih bukan sekadar untuk berganti rupa, melainkan untuk menegaskan arah baru. Angka 1976 di belakangnya bukan hiasan, melainkan penanda tahun kelahiran FISIP, rumah besar yang menaungi segalanya.

Maka lahirlah Sangkara, bukan hanya sebagai rebranding, tetapi sebagai kebangkitan. Sebagai janji baru bahwa tribun FISIP tidak akan lagi sunyi, bahwa solidaritas tidak boleh lagi redup, dan bahwa kebanggaan akan selalu menyala di dada setiap anak FISIP.

Filosofi Nama dan Simbol

Nama Sangkara dipilih bukan tanpa alasan. Dalam kosmologi Hindu, Sangkara adalah penguasa arah barat laut, arah di mana FISIP berdiri di kawasan UNS. Arah yang seakan memberi tanda, bahwa di ujung barat laut kampus ini, ada bara yang harus dijaga, ada suara yang harus disuarakan.

Namun, bagi Sangkara sendiri, nama hanyalah simbol semata. Sebab ada satu nama yang lebih besar dari itu semua, nama yang menjadi payung dan rumah, FISIP UNS. Karena itulah, Sangkara tidak pernah berdiri di atas FISIP, tidak pernah menyaingi atau melampaui. Ia hanyalah anak kecil dari rumah besar bernama FISIP, yang belajar berteriak, belajar menyanyi, dan belajar menjaga marwah fakultas.

FISIP UNS punya warna khas jingga. Warna yang muncul sejak era 2008, lalu berkembang menjadi identitas bersama. Jingga bukan sekadar cat di bendera. Ia adalah lambang kehangatan yang merangkul, keberanian yang membara, dan kebersamaan yang mengikat. Jingga adalah api yang tidak padam, bara yang terus hidup di dada setiap anak FISIP.

Bersama warna, ada simbol lain, burung hantu. Bukan sekadar hewan malam, tetapi lambang intelektualitas, kewaspadaan, dan keberanian menatap gelapnya keadaan sosial. Burung hantu melambangkan mata yang selalu terbuka, pikiran yang tidak tidur, serta keberanian untuk menembus kegelapan.

Dan akhirnya, ada tagline yang turun-temurun hidup di FISIP, sempat redup lalu kembali digaungkan oleh Sangkara:

“Jingga Membara, Membumi Mengudara.”

Sebuah filosofi yang sederhana tapi dalam: bahwa FISIP berakar di tanah, menyatu dengan rakyat, membumi dalam perjuangan, namun juga mampu meluas, bersuara, menjangkau dunia, mengudara tanpa batas.

Nama, warna, simbol, hingga tagline ini bukan sekadar ornamen. Ia adalah penanda arah, kompas yang menuntun Sangkara untuk tetap sadar bahwa setiap chant, setiap bendera, setiap teriakan, hanyalah persembahan kecil bagi nama yang lebih besar, FISIP UNS.

Latar Belakang dan Tujuan Gerakan

Sangkara lahir dari kegelisahan, dari rasa bahwa FISIP terlalu sering sunyi di tribun. Di tengah hingar-bingar fakultas lain, suara kita nyaris tak terdengar. Padahal FISIP adalah rumah para pejuang dan pemikir, rumah yang seharusnya berani tampil dan menyatakan diri.

Kebisuan itu kian terasa ketika banyak mahasiswa justru sibuk di dalam sekat-sekatnya sendiri. Himpunan dengan urusannya masing-masing, organisasi dengan dunianya sendiri, hingga mahasiswa yang lupa bahwa sebelum semua itu, mereka adalah satu, mahasiswa FISIP. Rasa kebersamaan perlahan memudar, dan solidaritas terasa semakin jauh.

Karena itulah Sangkara hadir, bukan hanya untuk bernyanyi di tribun, tetapi untuk membangkitkan kesadaran bahwa suporter bukan sekadar penghibur. Suporter adalah kelompok militan, barisan yang besar dan berani, yang hadir bukan hanya untuk mengisi kursi penonton, melainkan untuk memberi makna pada setiap teriakan.

Sia-sia jika suara habis di tribun tanpa pernah melahirkan keberanian di luar sana. Sia-sia jika semangat hanya berhenti pada lagu-lagu, tanpa menjadi nyala api yang menyalakan solidaritas di kampus. Sangkara menolak hal itu. Bagi kami, tribun hanyalah awal pintu masuk menuju gerakan yang lebih luas.

Tujuan kami jelas untuk membentuk barisan yang tegak, kuat, dan solid serta menjadikan kebanggaan pada FISIP bukan hanya kata-kata, tetapi sebuah sikap dan memastikan bahwa setiap mahasiswa FISIP punya rumah bersama untuk menyuarakan keberanian.

Arah Gerak dan Karakter Sangkara

Sangkara bergerak dengan dua wajah, tribun dan perlawanan. Di tribun, kami hadir sebagai barisan yang riuh, penuh warna, dengan bendera, chant, perkusi, dan koreografi. Suara kami menggaung bukan untuk satu dua orang, melainkan untuk nama besar FISIP. Kami ingin setiap pertandingan menjadi panggung di mana mahasiswa FISIP merasakan kebersamaan, keberanian, dan kebanggaan.

Namun Sangkara tidak berhenti di tribun. Kami menolak menjadi suporter yang suaranya hanya lantang di stadion, tetapi sunyi di ruang-ruang kehidupan kampus. Suporter yang sejati adalah militan, berani, dan tak kenal kompromi terhadap ketidakadilan. Maka arah gerak kami merentang lebih jauh, ke forum-forum diskusi, ke jalanan jika perlu, ke tulisan, ke aksi sosial, hingga ke ruang-ruang yang membentuk kesadaran.

Karakter Sangkara cair tapi tegas, inklusif tapi militan. Kami tidak membeda-bedakan prodi, angkatan, atau latar belakang. Siapapun yang berani berdiri bersama, menyanyi, berteriak, dan bergerak, adalah bagian dari kami. Di dalamnya ada ruang untuk ekspresi, ada ruang untuk keberanian, dan ada ruang untuk tumbuh bersama.

Kami percaya bahwa solidaritas adalah nafas FISIP. Maka setiap aktivitas kami, entah di tribun atau di luar, selalu diarahkan untuk menjaga api kebersamaan itu. Tribun hanyalah medium, perlawanan adalah watak. Dari nyanyian lahir keberanian, dari keberanian lahir solidaritas, dan dari solidaritas lahir kekuatan yang lebih besar dari sekedar suporter yaitu kekuatan mahasiswa FISIP itu sendiri.

Maka Sangkara bergerak keluar dari tribun, menyusuri jalan perlawanan khas mahasiswa FISIP. Kami menggelar forum-forum kecil untuk membicarakan isu sosial dan politik, baik di skala kampus, regional, maupun nasional. Dari sana lahir zine, kumpulan tulisan dan kritik yang jadi medium alternatif, sederhana tapi lantang, mengingatkan bahwa mahasiswa FISIP masih punya keberanian untuk bersuara.

Sangkara juga hadir dalam aksi-aksi sosial: membagikan air gratis di kampus, menggalang dana untuk mereka yang membutuhkan, hingga streetfeeding di jalanan. Aktivitas itu bukan sekadar amal, melainkan pengingat bahwa keberpihakan pada rakyat adalah watak yang melekat pada mahasiswa FISIP.

Tak berhenti di situ, kami juga merilis kanal tulisan ini untuk menampung karya mahasiswa FISIP. Sebab kami percaya, perlawanan tidak selalu harus turun ke jalan. Kadang ia lahir dari kata-kata yang ditulis dengan jujur, dari analisis kritis, dari refleksi tentang situasi yang sedang terjadi.

Semua itu adalah bentuk konkret bahwa Sangkara menolak reduksi. Kami bukan sekadar suporter olahraga, bukan pula sekadar penonton riuh. Kami adalah wajah lain mahasiswa FISIP yang militan, berani, dan selalu gelisah melihat ketidakadilan.

Tribun adalah awal, tetapi ruang perlawanan adalah tujuan. Karena apa arti ribuan suara di tribun, jika di luar sana kita bungkam pada persoalan rakyat?

Poros Komando, Warisan Bara

Di balik semua itu, Sangkara berdiri dengan poros komando. Sebuah kepemimpinan yang lahir bukan dari ambisi, tetapi dari kepercayaan. Komando dipilih secara demokratis, berganti setiap satu tahun lintas angkatan, agar perjuangan tidak berhenti di satu generasi. Komandan dan wakilnya memegang tanggung jawab sebagai poros, sementara struktur lain tetap fleksibel, menyesuaikan dengan kebutuhan. Bukan hierarki yang kaku, melainkan ruang cair yang terbuka bagi siapapun mahasiswa FISIP yang berani berdiri.

Namun lebih dari sekadar struktur, Sangkara adalah kultur. Kultur egaliter, inklusif, cair, tapi tetap solid. Kultur yang tidak melupakan kodrat mahasiswa sebagai insan kritis. Kultur yang menyadarkan bahwa bersuara di tribun hanyalah pintu gerbang, dan perjuangan sesungguhnya ada di luar sana untuk menyatukan mahasiswa, melawan ketidakadilan, menghidupkan solidaritas, dan menjaga marwah fakultas ini.

Penutup: Sangkara dan Rumah Besar Bernama FISIP

Pada akhirnya, Sangkara hanyalah setitik bara kecil di tengah api besar bernama FISIP. Bara yang mungkin redup, tapi selalu dijaga agar tak pernah padam. Ia bukan fakultas, bukan prodi, bukan himpunan, apalagi institusi resmi. Ia hanya komunitas, lahir dari tribun, dari keresahan, dari semangat yang sederhana agar FISIP punya wajah, punya suara, punya identitas yang tidak pernah hilang ditelan zaman.

Sangkara ada bukan untuk melampaui FISIP, melainkan untuk menghidupkan kembali kebanggaan itu. Sebab terlalu sering kita terjebak dalam sekat himpunan, terlalu sibuk dengan urusan organisasi, hingga lupa bahwa sebelum semua itu, kita terlebih dulu adalah mahasiswa FISIP. Rumah ini adalah alas bagi semua langkah, atap bagi semua perbedaan, dan pangkal dari segala kebanggaan kita.

Maka biarlah suara-suara di tribun menjadi pengingat. Biarlah bendera jingga yang membentang menjadi penanda. Bahwa ada identitas yang lebih besar dari himpunan, komunitas, atau kelompok apapun yaitu identitas sebagai keluarga FISIP UNS.

Dan ketika semua ini dirangkum dalam satu seruan, maka biarlah seruan itu menggema, dari tribun, dari ruang kelas, dari forum, hingga ke setiap langkah yang kita tapaki bersama:

Jingga Membara, FISIP UNS Membumi Mengudara!


Posting Komentar

0 Komentar