“FISIP itu fakultas ilmu skena party.” Begitulah stigma yang sering kita dengar, entah dari obrolan antar mahasiswa, komentar di media sosial, atau candaan yang berulang-ulang diulang. Citra ini menempel kuat, seolah mahasiswa FISIP hanya akrab dengan musik keras, gelas berputar, dan malam panjang.
Alkohol pun kerap dijadikan simbol yang otomatis dilekatkan pada FISIP. Sebagian orang menganggapnya sekedar lelucon, namun bagi yang menjalaninya, label ini bisa terasa merendahkan. Karena ia tidak berhenti pada candaan, melainkan ikut membentuk cara orang melihat FISIP: fakultas yang santai, liar, dan jauh dari keseriusan intelektual.
Tetapi benarkah semua itu hanya tentang pesta dan mabuk? Ataukah ada makna lain yang bisa dibaca dari kehadiran alkohol di lingkar mahasiswa? sebuah refleksi tentang solidaritas, keresahan, dan pencarian identitas di tengah tekanan kampus dan zaman?
Namun di balik lingkaran gelas itu, ada sesuatu yang sering luput dari sorotan. Banyak mahasiswa menemukan ruang persaudaraan justru di meja sederhana yang dipenuhi tawa dan cerita. Sekat antar angkatan, jurusan, bahkan organisasi sering hilang ketika suasana menjadi cair. Di situlah solidaritas lahir, bukan dari forum resmi dengan notulensi panjang, tetapi dari percakapan jujur yang mengalir tanpa sekat.
Alkohol, bagi sebagian mahasiswa, bukan sekedar minuman. Ia menjadi pengantar untuk membuka diri, untuk menanggalkan topeng yang sehari-hari melekat. Ada yang datang dengan beban kuliah, ada yang resah oleh persoalan organisasi, ada pula yang gusar karena realitas sosial dan politik. Tetapi dalam lingkaran itu, mereka merasa aman untuk tertawa, menangis, bahkan berteriak, tanpa takut dihakimi.
Stigma “fakultas party” yang melekat pada FISIP mungkin lahir dari gambaran ini. Tetapi bagi mereka yang pernah mengalaminya, semua itu tidak sesederhana pesta tanpa arah. Ada ruang kehangatan, ada ikatan solidaritas, ada pengalaman manusiawi yang jarang muncul di ruang formal.
Namun, kisah tentang lingkaran gelas ini tidak pernah satu warna. Di balik solidaritas dan tawa, ada pula sisi gelap yang sering terabaikan. Alkohol memang bisa mencairkan suasana, tetapi ia juga menyimpan risiko yang nyata: tubuh yang lemah, kepala yang kehilangan kendali, bahkan hubungan sosial yang retak karena amarah yang tak lagi bisa ditahan.
Inilah paradoks yang harus dihadapi. Di satu sisi, alkohol memberi ruang kebersamaan. Di sisi lain, ia bisa menyeret pada masalah kesehatan, kekerasan, dan stigma yang justru semakin menempel pada nama FISIP. Untuk memahami itu, kita perlu menengok data dan pandangan para ahli.
Menurut World Health Organization (WHO, 2018), konsumsi alkohol di Indonesia memang rendah secara rata-rata, hanya 0,8 liter per kapita per tahun. Tetapi, angka ini naik signifikan pada kalangan muda di perkotaan. Kementerian Kesehatan RI (2019) juga mencatat 3,3% remaja Indonesia pernah mengonsumsi alkohol, dengan kota besar sebagai episentrum. Fakta ini menunjukkan bahwa isu alkohol bukan sekedar candaan antar mahasiswa, melainkan fenomena nyata yang harus dipahami dengan serius.
Sosiolog David Le Breton (1995) menyebut alkohol sebagai bagian dari rite de passage—ritual peralihan bagi anak muda, yang bukan hanya soal minuman, melainkan pengakuan identitas dan solidaritas kelompok. Pandangan ini memperlihatkan bahwa apa yang terjadi di lingkar mahasiswa, termasuk FISIP, tidak bisa hanya dibaca sebagai dekadensi moral, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang kompleks.
Dari perspektif sosial, ada dua wajah alkohol di lingkar mahasiswa.
Pertama, sisi positif. Alkohol bisa berfungsi sebagai pelumas sosial. Ia mencairkan obrolan, mempertemukan yang asing menjadi akrab, dan membuka ruang solidaritas yang sulit tercipta di forum formal. Dalam lingkaran sederhana, mahasiswa bisa berbagi keresahan, melepaskan penat, bahkan melahirkan ide-ide kreatif. Tidak sedikit pula momen kebersamaan yang justru mengikat lebih kuat karena adanya suasana cair ini. Bagi sebagian orang, inilah alasan mengapa alkohol tetap hadir: bukan semata soal minuman, tetapi soal rasa kebersamaan. Pun penulis juga mengamini bahwa terkadang semalam pesta bisa merawat jumpa mereka yang tak saling sapa sebelumnya.
Kedua, sisi negatif. Di luar kehangatan itu, alkohol membawa risiko nyata. Dari aspek kesehatan, ia dapat melemahkan tubuh, menurunkan daya pikir, dan menimbulkan ketergantungan. Dari aspek sosial, ia bisa memicu konflik, kekerasan, dan tindakan yang sulit dikendalikan. Lebih jauh, stigma yang melekat pada FISIP—“fakultas party,” “fakultas santuy”—sering menjadi alasan bagi orang luar untuk meremehkan kapasitas intelektual mahasiswa. Inilah beban yang harus ditanggung: solidaritas yang lahir dari lingkaran gelas kerap dibaca publik sebagai sekedar pesta tanpa arah.
Paradoks inilah yang menjadikan alkohol bukan hanya urusan individu, melainkan urusan sosial. Ia bisa menjadi perekat, tapi juga bisa menjadi belenggu. Ia bisa melahirkan solidaritas, tapi juga bisa melanggengkan stigma.
Pada akhirnya, perdebatan soal alkohol di kalangan mahasiswa FISIP tidak pernah sederhana. Ia bukan hanya tentang benar atau salah, baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana kita membaca dinamika sosial di baliknya. Alkohol bisa menjadi ruang solidaritas, tetapi juga bisa melahirkan stigma. Ia bisa menjadi pengikat, tetapi juga bisa meruntuhkan.
Namun ada satu hal yang harus diingat: identitas FISIP tidak boleh direduksi hanya pada gelas yang berputar. FISIP adalah rumah para pemikir dan pejuang, tempat solidaritas dibangun bukan hanya dari tawa malam, tetapi juga dari diskusi panjang, aksi nyata, dan gagasan kritis.
Stigma “fakultas santuy” dan “fakultas party” mungkin akan terus menempel, tetapi tugas kita adalah membuktikan bahwa di balik semua itu, ada intelektualitas, ada keberanian, dan ada marwah yang jauh lebih besar. Alkohol hanyalah cermin kecil dari keresahan dan solidaritas mahasiswa. FISIP tetaplah lebih luas, lebih dalam, dan lebih bermakna.
Maka biarlah gelas itu berputar sesekali, tetapi jangan biarkan ia menenggelamkan nama besar yang kita bawa. Karena FISIP, sejak awal berdirinya, selalu lebih besar daripada stigma apa pun yang ditempelkan padanya.
0 Komentar